Sabtu, 02 Mei 2020

KEPALSUAN HADITS JIKA TANGGAL 15 RAMADHAN TERJADI PADA HARI JUM'AT, MAKA AKAN TERJADI HURU HARA DIBULAN SYAWAL.

*Bukti Kepalsuan Hadits Jika Tanggal 15 Ramadhan Terjadi Pada Hari Jum'at, Maka Akan Terjadi Huru-Hara Di Bulan Syawal*.

_Oleh : Dafid Fuadi_
-----------------------------------
*Penulis adalah Ketua Aswaja NU Center PCNU Kab. Kediri & Tim Peneliti Aswaja NU Center PWNU Jatim Bidang Pemikiran Islam*

Setiap orang muslim tentu wajib mengimani apa yang disampaikan Allah dan Rasul-Nya melalui Al Qur'an dan Hadits Shahih, bergitu juga wajib mengimani datangnya Kiamat dan berbagai peristiwa2 akhir zaman yang terjadi sebelumnya. 

Cukup banyak hadits shahih yang menjelaskan berbagai peristiwa penting yang akan terjadi di akhir zaman. 

Adapun cara yang selamat dalam menyikapi hadits2 tersebut adalah dengan mengimaninya sesuai dengan apa yg disampaikan Rasulullah, dan memgikuti penjelasan para Ulama ttg derajat hadits tsb. 
Di samping itu, tentu dengan memperbanyak amal shalih dan melaksanakan perintah2 Allah serta menjauhi larangan2Nya. 

Di antara hadits2 akhir zaman itu yang sering menjadi perhatian sebagian umat Islam adalah hadits tentang jatuhnya pertengahan (tanggal 15) Ramadhan yang bertepatan dengan hari Jumat.
Saya tulis lengkap dengan sanadnya dan penjelasan para Ulama Hadits tentang derajat hadits tersebut. 

قَالَ نُعَيْمٌ بْنُ حَمَّادٍ : حَدَّثَنَا أَبُو عُمَرَ عَنِ ابْنِ لَهِيعَةَ قَالَ : حَدَّثَنِي عَبْدُ الْوَهَّابِ بْنُ حُسَيْنٍ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ ثَابِتٍ الْبُنَانِيِّ عَنْ أَبِيهِ عَنِ الْحَارِثِ الْهَمْدَانِيِّ عَنِ ابْنِ مَسْعُودٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : “إذا كانَتْ صَيْحَةٌ في رمضان فإنه تكون مَعْمَعَةٌ في شوال، وتميز القبائل في ذي القعدة، وتُسْفَكُ الدِّماءُ في ذي الحجة والمحرم.. قال: قلنا: وما الصيحة يا سول الله؟ قال: هذه في النصف من رمضان ليلة الجمعة فتكون هدة توقظ النائم وتقعد القائم وتخرج العواتق من خدورهن في ليلة جمعة في سنة كثيرة الزلازل ، فإذا صَلَّيْتُمْ الفَجْرَ من يوم الجمعة فادخلوا بيوتكم، وأغلقوا أبوابكم، وسدوا كواكـم، ودَثِّرُوْا أَنْفُسَكُمْ، وَسُـدُّوْا آذَانَكُمْ إذا أَحْسَسْتُمْ بالصيحة فَخَرُّوْا للهِ سجدًا، وَقُوْلُوْا سُبْحَانَ اللهِ اْلقُدُّوْسِ، سُبْحَانَ اللهِ اْلقُدُّوْسِ ، ربنا القدوس فَمَنْ يَفْعَلُ ذَلك نَجَا، وَمَنْ لَمْ يَفْعَلْ ذَلِكَ هَلَكَ)

Nu’aim bin Hammad berkata: “Telah menceritakan kepada kami Abu Umar, dari Ibnu Lahi’ah, ia berkata; Telah menceritakan kepadaku Abdul Wahhab bin Husain, dari Muhammad bin Tsabit Al-Bunani, dari ayahnya, dari Al-Harits Al-Hamdani, dari Ibnu Mas’ud radhiallahu ‘anhu, dari Nabi shallallahu alaihi wasallam, beliau bersabda: “Bila telah muncul suara di bulan Ramadhan, maka akan terjadi huru-hara di bulan Syawal, kabilah-kabilah saling bermusuhan (perang antar suku, pen) di bulan Dzul Qa’dah, dan terjadi pertumpahan darah di bulan Dzul Hijjah dan Muharram…”. Kami bertanya: “Suara apakah, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab: “Suara keras di pertengahan bulan Ramadhan, pada malam Jumat, akan muncul suara keras yang membangunkan orang tidur, menjadikan orang yang berdiri jatuh terduduk, para gadis keluar dari pingitannya, pada malam Jumat di tahun terjadinya banyak gempa. Jika kalian telah melaksanakan shalat Subuh pada hari Jumat, masuklah kalian ke dalam rumah kalian, tutuplah pintu-pintunya, sumbatlah lubang-lubangnya, dan selimutilah diri kalian, sumbatlah telinga kalian. Jika kalian merasakan adanya suara menggelegar, maka bersujudlah kalian kepada Allah dan ucapkanlah: “Mahasuci Allah Al-Quddus, Mahasuci Allah Al-Quddus, Rabb kami Al-Quddus”, kerana barangsiapa melakukan hal itu, niscaya ia akan selamat, tetapi barangsiapa yang tidak melakukan hal itu, niscaya akan binasa” .(Hadits ini diriwayatkan oleh Nu’aim bin Hammad di dalam kitab Al-Fitan I/228, No.638, dan disebutkan oleh Alauddin Al-Muttaqi Al-Hindi di dalam kitab Kanzul ‘Ummal, No.39627).

Hadits ini derajatnya maudhu’ (palsu), karena di dalam sanadnya terdapat beberapa perawi pendusta dan bermasalah, sebagaimana ditegaskan oleh para ulama hadits. 
Para perawi tersebut ialah sebagaimana berikut ini

1. Ibnu Lahi’ah (Abdullah bin Lahi’ah)
Dia seorang perawi yang dha’if (lemah), karena mengalami kekacauan dalam hafalannya setelah kitab-kitab haditsnya terbakar.

An-Nasa’i berkata tentangnya: “Dia seorang yang dha’if (lemah)” ( Adh-Dhu’afa wa Al-Matrukin, karya An-Nasa’i I/64 no.346)

Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani berkata: “Dia mengalami kekacauan di dalam hafalannya setelah kitab-kitab haditsnya terbakar” (Taqrib At-Tahdzib I/319 no.3563).
 

2. Abdul Wahhab bin Husain

Dia seorang perawi yang majhul (tidak dikenal).

Al-Hakim berkata tentangnya: “Dia seorang perawi yang majhul (tidak jelas jati dirinya dan kredibilitasnya)” (Al-Mustadrak No. 8590)

Adz-Dzahabi berkata di dalam At-Talkhish: “Dia mempunyai riwayat hadits palsu.” (Lisan Al-Mizan, karya Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani II/139).

3. Muhammad bin Tsabit Al-Bunani
Dia seorang perawi yang dha’if (lemah dalam periwayatan hadits) sebagaimana dikatakan oleh Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani, Ibnu Hibban dan An-Nasa’i.

An-Nasa’i berkata tentangnya: “Dia seorang yang dha’if (lemah)”
Yahya bin Ma’in berkata: “Dia seorang perawi yang tidak ada apa-apanya”(Al-Kamil Fi Dhu’afa Ar-Rijal, karya Ibnu ‘Adi VI/136 no.1638).
Ibnu Hibban berkata: “Tidak boleh berhujjah dengannya, dan tidak boleh pula meriwayatkan darinya” (Al-Majruhin, karya Ibnu Hibban II/252 no.928).

Al-Azdi berkata: “Dia seorang yang gugur riwayatnya” (Tahdzib At-Tahdzib, karya Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani IX/72 no.104)
 

4. Al-Harits bin Abdullah Al-A’war Al-Hamdani.
Dia seorang perawi pendusta, sebagaimana dinyatakan oleh imam Asy-Sya’bi, Abu Hatim dan Ibnu Al-Madini.

An-Nasa’i berkata tentangnya: “Dia bukan seorang perawi yang kuat (hafalannya, pent)” (All-Kamil Fi Dhu’afa Ar-Rijal, karya Ibnu ‘Adi II/186 no.370).

Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani berkata tentangnya: “Asy-Sya’bi telah mendustakan pendapat akalnya, dan dia juga dituduh menganut paham Rafidhah dan di dalam haditsnya terdapat suatu kelemahan” (Taqrib At-Tahdzib I/146 no.1029).

Ali bin Al-Madini berkata: “Dia seorang pendusta”
Abu Hatim Ar-Razi berkata: “Dia tidak dapat dijadikan hujjah.” (Siyar A’lam An-Nubala’, karya imam Adz-Dzahabi IV/152 no.54)

Kesimpulan derajat hadits Ini, para Ulama mengatakan :

قال العقيلي رحمه الله :
" ليس لهذا الحديث أصل من حديث ثقة ، ولا من وجه يثبت " انتهى .(" الضعفاء الكبير " (3/52) .)

Al-Uqaily rahimahullah berkata: “Hadits ini tidak memiliki dasar dari hadits yang diriwayatkan oleh perawi yang tsiqah (terpercaya), atau dari jalan yang tsabit (kuat dan benar adanya).” (Adh-Dhu’afa Al-Kabir III/52).

وقال ابن الجوزي رحمه الله :
" هذا حديث موضوع على رسول الله صلى الله عليه وسلم " انتهى .(" الموضوعات " (3/191))

Ibnul Jauzi rahimahullah berkata: “Hadits ini palsu, diatas namakan dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam” (Al-Maudhu’at III/191).

Dengan demikian, dapat kita simpulkan bahwa hadits ini adalah hadits maudhu’ (palsu). Tidak boleh diyakini sebagai dasar atau rujukan, dan tidak boleh dinisbatkan kepada Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam. Karena di samping dari segi sanadnya terbukti tidak bisa dijadikan sebagai hujjah, begitu juga realita telah mendustakannya. Sebab telah berlalu tahun-tahun yang banyak dan telah terjadi berulang kali hari Jum’at yang bertepatan dengan tanggal 15 (pertengahan) bulan Ramadhan, namun kenyataannya tidak pernah terjadi sebagaimana berita yang terkandung di dalam hadits palsu ini.

Oleh karena itu, kita dilarang keras menyebarluaskan hadits palsu ini baik melalui media cetak, maupun elektronik, atau obrolan dan khutbah kecuali dalam rangka menjelaskan sisi kelemahan, kebatilan dan kepalsuannya, serta bertujuan untuk memperingatkan umat Islam dari hadits palsu ini. 

Ingat, Nabi shallallahu alaihi wasallam telah memperingatkan kita dg keras ttg bahayanya berdusta atas nama beliau, dalam hadits berikut ini ;

Dari Al Mughirah, ia mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda,

إِنَّ كَذِبًا عَلَىَّ لَيْسَ كَكَذِبٍ عَلَى أَحَدٍ ، مَنْ كَذَبَ عَلَىَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ

“Sesungguhnya berdusta atas namaku tidaklah sama dengan berdusta pada selainku. Barangsiapa yang berdusta atas namaku secara sengaja, maka hendaklah dia menempati tempat duduknya di neraka.” (HR. al -Bukhari no. 1291 dan Muslim no. 4).

والله اعلم بالصواب

____________________

Tidak ada komentar:

Posting Komentar