Zakat merupakan salah satu ibadah maliyah (ibadah yang berwujud harta) yang mana ketentuan, cara pengumpulan dan pendistribusiannya sudah diatur dalam syari’at dengan aturan yang baku. Dalam Al-Qur’an surat At-Taubah ayat 60 diterangkan :
إِنَّمَا الصَّدَقَاتُ لِلْفُقَرَاءِ وَالْمَسَاكِينِ وَالْعَامِلِينَ عَلَيْهَا وَالْمُؤَلَّفَةِ قُلُوبُهُمْ وَفِي الرِّقَابِ وَالْغَارِمِينَ وَفِي سَبِيلِ اللَّهِ وَابْنِ السَّبِيلِ فَرِيضَةً مِنَ اللَّهِ وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ. التوبة: 60
Artinya :
Sesungguhnya zakat-zakat itu hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mu’allaf yang dibujuk hatinya, untuk memerdekakan budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan”. (QS. At-Taubah 60).
Berdasarkan ayat di atas, jelas bahwa pendistribusian zakat/pembagian zakat itu harus disalurkan kepada para mustahiq (orang yang berhak menerimanya) yang jumlahnya ada delapan golongan tersebut. Sedangkan golongan yang lain tidak berhak menerimanya. Demikian pula halnya dengan kyai langgar/guru ngaji. Sementara sudah merupakan hal yang biasa dilakukan di kampung-kampung bahwa sebagian kaum muslimin -yang notabenenya warga nahdliyin- memberikan zaktnya kepada kiyai langgar/guru ngaji, bagaimana hukumnya?
Sayid Abu Bakar bin Muhammad Syatho dalam kitabnya I’anatut Thalibin memberikan keterangan :
وَمِمَّا لاَ يَمْنَعُهُمَا [أَيِ الْفَقْرَ وَالْمَسْكَنَةَ] أَيْضًا اشْتِغَالُهُ عَنْ كَسْبٍ يُحْسِنُهُ بِحِفْظِ الْقُرْآنِ، أَوْ بِالْفِقْهِ، أَوْ بِالتَّفْسِيْرِ، أَوِ الْحَدِيْثِ. أَوْ مَا كَانَ آلَةً لِذَلِكَ وَكَانَ يَتَأَتَّى مِنْهُ ذَلِكَ فَيُعْطَى لِيَتَفَرَّغَ لِتَحْصِيْلِهِ لِعُمُوْمِ نَفْعِهِ وَتَعَدِّيْهِ، وَكَوْنِهِ فَرْضَ كِفَايَةٍ.
Artinya :
“Termasuk hal yang tidak mencegah keduanya (status fakir dan miskin) adalah seseorang yang meninggalkan pekerjaan yang layak baginya karena waktunya tersita untuk menghafal Qur’an, memperdalam imu fiqih, tafsir, hadits atau ilmu alat (ilmu yang menjadi sarana tercapainya ilmu-ilmu tersebut), maka orang-orang semacam ini dapat diberi zakat, agar mereka dapat melaksanakan usahanya secara optimal, sebab manfaatnya akan lebih dirasakan serta mengena kepada masyarakat umum, disamping juga hal itu hukumnya fardlu kifayah.
Dari keterangan ini, kita bisa memahami bahwa hukum memberi zakat kepada kiyai/guru ngaji itu boleh, dengan syarat bahwa yang bersangkutan keadaannya tidak mampu. Hal ini disamakan dengan orang yang sibuk menghafal hadits, memperdalam ilmu fiqih atau mengerjakan sesuatu yang hukumnya fardlu kifayah, sehingga tidak memiliki waktu yang cukup untuk mencari penghasilan yang layak.
Jam’iyah Musyawarah Bahtsul Masail Pondok Pesantren Al-Falah Ploso Kediri pada tahun 1405 H./1984 M. pernah membahas persoalan ini dengan deskripsi masalah sebagai berikut :
Soal : Apakah boleh memberikan zakat kepada kiyai dengan atas nama kiyai?
Jawab: Tidak boleh, karena tidak termasuk ashnaf delapan, meskipun nama sabilillah, sebab yang dimaksud sabilillah adalah orang yang berperang dengan sukarela. Keterangan dari kitab Fathul Wahhab juz II hal. 27 :
(وِلِسِبِيْلِ اللهِ) وِهُوَ غَازٍ مُتَطَوِّعًا بِالْجِهَادِ.
Artinya :
“(dan untuk sabilillah) yaitu orang yang berperang dengan sukarela dalam jihadnya.
(Tanbih) Ada suatu qaul (pendapat ulama) yang menyebutkan bahwa kiyai itu termasuk sabilillah, sebagaimana keterangan dalam kitab Jawahirul Bukhari hal. 173 :
أَهْلُ سَبِيْلِ اللهِ الْغُزَاةُ الْمُتَطَوِّعُوْنَ بِالْجِهَادِ وَإِنْ كَانُوْا أَغْنِيَاءَ، إِعَانَةً عَلَى الْجِهَادِ. وَيَدْخُلُ فِيْ ذَلِكَ طَلَبَةُ الْعِلْمِ الشَّرْعِيِّ وَرُوَّادُ الْحَقِّ وَطُلاَّبُ الْعَدْلِ وَمُقِيْمُوا اْلإِنْصَافِ وَالْوَعْظِ وَاْلإِرْشَادِ وَنَاصِرُوا الدِّيْنِ الْحَنِيْفِ. اهـ تحفة الرحبة 2 ص 33
Artinya :
“Ahli Sabilillah adalah mereka yang berperang yang bersuka rela dalam berjihad walaupun mereka itu kaya, karena untuk membantu mereka dalam berjihad. Termasuk ahli sabilillah : para pelajar/santri yang mempelajari ilmu syar’i, orang-orang yang mencari kebenaran, menuntut keadilan, menegakkan kejujuran, orang-orang yang ahli memberi nasehat, memberi bimbingan dan membela agama yang lurus”.
Jadi, kalau kita mengikuti qaul/pendapat ulama yang tertulis dalam kitab Jawahirul Bukhari tadi (yakni pendapat Imam Qasthalani Asy-Syafi’i), maka boleh dan sah memberikan zakat kepada para kiyai/para guru ngaji -sebagaimana yang biasa dilakukan di kampung-kampung- dengan atas nama sabilillah.